Narasi dan Foto oleh:
Jefli (Wartawan Haluan)
JA.com, (SOLSEL) — Ada satu Rumah Gadang (rumah adat minangkabau) di Bendang, Nagari Pasir Talang, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan (Solsel) yang selesai pembangunannya dalam satu malam. Kisah ini sudah melegenda oleh masyarakat Sungai Pagu sejak dahulu kala.
Tak jarang, penghuni rumah sampai saat ini mengalami kejadian-kejadian mistis. Terkadang, bunyi tongkat menghentak-hentak di tengah rumah saat malam datang ataupun bunyi seperti orang memecah-mecah piring. Kejadian mistis sering terjadi ketika adanya kematian salah satu anggota keluarga. Sampai saat ini, jika ada kegiatan pernikahan atau kematian anggota keluarga selalu memberikan sajian yang ditaruh di atas bejana untuk diletakkan dianjungan rumah gadang.
Sajian biasanya berupa makanan yang hendak dimasak. Dengan menyisihkan sedikit dan diletakkan di atas bejana dalam anjungan rumah gadang.
"Kalau tidak diberikan maka apa saja yang dimasak tidak akan matang. Misalnya, memasak rendang jika tidak diberi sajian maka rendang tadi tak kunjung masak," terang anggota keluarga, Sumarni (76) yang menghuni rumah gadang itu menceritakan.
Rumah Gadang ini konon didirikan oleh Inyiak Majo Lelo atau Inyiak Bancah dari kaum Kampai Bendang. Pendirian rumah sendiri konon dikerjakan pada siang hari di saat semua kayu dan peralatan telah terkumpul di lokasi yang telah ditentukan. Namun, hingga petang hari rumah gadang belum juga kunjung selesai dan Inyiak Majo Lelo beserta anggota sanak-keluarga memutuskan untuk melanjutkan esok harinya.
"Seluruh anggota keluarga sontak terkejut saat mentari mulai terbit keesokan harinya. Pasalnya, rumah gadang telah berdiri dan selesai saja pembuatannya," ucapnya.
Ia melanjutkan, akhirnya setelah rumah selesai lima orang pemuka adat saat itu termasuk Inyiak Majo Lelo memutuskan untuk menghadap ke kerajaan Pagaruyung guna memilih salah satu dari mereka (lima orang pemuka adat) untuk ditunjuk sebagai raja di Sungai Pagu.
Lima pemuka adat, yakni Rajo Bagindo (Kampai 24), Rajo Malenggang (Sikumbang), Rajo Batuah (Panai), Rajo Disambah (Melayu) dan Inyiak Majo Lelo (Kampai 12) berangkat menuju Pagaruyung tapi di tengah perjalanan Inyak Majo Lelo ditinggal oleh empat pemuka adat lainnya. "Beliau kesal dan merasa dikhianati oleh empat orang pemuka adat lain, dikarenakan tidak dibawa," tambah Sumarni.
Padahal katanya, Inyiak Majo Lelo merupakan orang yang pandai bercakap, pemberani lagi sakti. "Tapi dikarenakan adanya rasa ketakutan dari mereka selain Inyiak maka inyiak ditipu," katanya.
Dikarenakan Inyiak murka dan menghindari hal yang buruk terjadi, imbuhnya, sehingga Inyiak Majo Lelo berangkat dari Rumah Gadang yang telah selesai dalam semalam itu menuju Pesisir Selatan dengan menunggang kuda miliknya. "Dengan kesal beliau berkata, jika tidak bisa jadi raja manusia. Raja iblis saya sanggup dengan menunggang kuda ia berangkat. Disebabkan terlalu kesal, tapak kaki kuda yang ditunggangi meninggalkan jejak di depan pintu rumah gadang hingga saat ini jejak itu masih ada," terangnya.
Sesampainya di kaki bukit Bancah, Kuda Inyiak tenggelam dan tidak pernah lagi diketahui rimbanya sampai saat ini.
Menurut Ketua LKAAM Solsel, Noviar Dt. Rajo Endah cerita tersebut memang sudah melegenda di tengah masyarakat Sungai Pagu yang berkembang dari mulut ke mulut. "Kisah itu bisa saja benar, dan bisa saja hanya sebatas mitos," terangnya.
Ia mengatakan, keberadaan rumah gadang itu sampai saat ini telah mengalami beberapa kali renovasi dan perbaikan. "Bentuk rumah gadang saat ini bukan bentuk asli, namun telah beberapa kali perbaikan," tutupnya. (**)