JA.com, Jakarta - M. Yusuf, seorang wartawan Sinar Pagi Baru harus mengalami nasib naas, tewas di dalam tahanan Polres Kota Baru, Kalimantan Selatan, saat sedang menjalani proses hukum atas dugaan pelanggaran UU ITE, Minggu, 10 Juni 2018.
Almarhum ditangkap dan diajukan ke pengadilan atas pengaduan sebuah perusahaan perkebunan sawit milik konglomerat lokal, Andi Syamsuddin Arsyad atau lebih dikenal dengan nama Haji Isam. M. Yusuf harus mendekam di tahanan hingga meninggal karena tulisan-tulisan almarhum yang membela hak-hak masyarakat Pulau Laut yang diusir secara sewenang-wenang oleh pihak PT. MSAM, milik Haji Isam. Innalilahi wa innailaihi rojiun... RIP sang jurnalis pembela rakyat di kampungnya.
Terkait dengan peristiwa memilukan tersebut, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke menyampaikan rasa duka yang mendalam disertai keprihatinan yang amat sangat atas kondisi perlakuan aparatur hukum di negara ini terhadap wartawan. Untuk itu, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2018 ini menyampaikan rasa turut berdukacita kepada keluarga almarhum atas kematian M. Yusuf, semoga khusnul khotimah, dan keluarga yang ditinggalkannya selalu tabah, tawakal dan ikhlas menjalani situasi menyedihkan ini.
"Saya atas nama pribadi dan keluarga besar PPWI menyampaikan turut berbelasungkawa, berdukacita atas kematian rekan jurnalis senior, Bapak M. Yusuf. Semoga almarhum khusnul khotimah, keluarga yang ditinggalkannya senantiasa tabah, tawakal, dan ikhlas dalam menghadapi situasi sulit ini," kata Wilson melalui jaringan selulernya, Minggu, 10 Juni 2018.
Kejadian menyedihkan ini, lanjut pria yang menyelesaikan masternya pada bidang studi Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Lingkoping University, Swedia, itu adalah dukacita Pers Indonesia. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan jurnalis lagi yang "menunggu giliran" mati, baik mati sendiri, terbunuh, maupun dibunuh.
"Hakekatnya, kematian M. Yusuf adalah dukacita kita semua, rakyat Indonesia, terlebih khusus pekerja pers di negeri ini. Ada begitu banyak jurnalis yang saat ini berada pada posisi di pintu kematian, mati sendiri karena tekanan hidup dan mental, mati terbunuh dalam tugas, dan/atau sengaja dibunuh pihak tertentu," imbuh Wilson yang juga adalah Ketua Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (PERSISMA) itu dengan nada sedih.
Kondisi kehidupan pers selama ini yang tidak mendapatkan perlindungan serius dari negara, menurut Wilson, merupakan penyebab utama ancaman kematian demi kematian harus menjadi sahabat karib para wartawan dan pekerja media di seantero negeri ini. "Sebenarnya kita punya konstitusi, pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang sangat jelas menjamin hak seluruh rakyat untuk melakukan fungsi jurnalistik, yakni mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi melalui segala saluran yang tersedia. Pasal itu kemudian diturunkan dalam bentuk undang-undang, salah satunya UU No 40 tahun 1999, yang dalam pasal 4 ayat (1) menyatakan: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Ketika pers memberitakan sesuatu, yang notabene terkait dugaan pelanggaran hukum atau perbuatan yang merugikan kepentingan masyarakat, sang pekerja pers ditangkap polisi, ini sama artinya aparat polisi yang merupakan representasi negara di bidang penegakan hukum, telah melakukan pelanggaran konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku di negara hukum ini," jelas peraih kelulusan PPRA-48 Lemhannas dengan Nilai A (Lulus dengan Pujian) itu.
Wilson selanjutnya menduga bahwa ada kelindan kepentingan antara para pengadu delik pers dengan para oknum aparat kepolisian, juga dengan kejaksaan. Hampir semua kasus yang menimpa wartawan terkait dengan pekerjaan jurnalistiknya, sang terlapor dipaksa bersalah oleh para pihak berkepentingan itu melalui penerapan KUHP atau UU ITE, bukan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers.
"Sangat terang-benderang terlihat bahwa ada 'kerjasama' simbiosis mutualisme antara pihak pengadu dengan para oknum aparat di kepolisian dan bahkan kejaksaan. Sudah jelas kasusnya delik pers, tapi tetap saja dipaksakan menggunakan pasal-pasal KUHP atau UU ITE, bukan UU Pers. Apalagi kasus yang melibatkan konglomerat lokal di Tanah Bumbu itu, jangankan oknum di Polres, okum petinggi Mabes Polri bisa dibeli, kepentingan para mafia di lingkaran mereka dilindungi. Rakyat dibiarkan tertindas, wartawan dibunuh atau dibiarkan membusuk di penjara," ujar Wilson dengan nada geram.
Keadaan tersebut menurut alumni Program Persahabatan Indonesia Jepang Abad-21 itu, diperparah oleh berbagai kebijakan Dewan Pers yang memperlancar program 'pembunuhan wartawan' di seantero negeri. "Saya sudah kehabisan kata dan kalimat dalam menjelaskan hubungan antara kebijakan Dewan Pers dengan program alienisasi jurnalis selama ini. Wartawan kritis dan vokal, berani menyuarakan fakta dan kebenaran, digiring untuk menjadi pihak yang perlu diasingkan (red - alienasi). Caranya? Yaa, masukan ke bui. Melalui pola kriminalisasi dan pemenjaraan, hanya dua hal yang akan terjadi terhadap sang jurnalis: nyalinya mati atau orangnya mati," ungkap Wilson serius.
Rekomendasi-rekomendasi Dewan Pers yang mengarahkan para teradu delik pers ke ranah hukum umum dengan dalih si wartawan belum UKW, medianya belum terverifikasi Dewan Pers, dan/atau perusahaan media tidak sesuai keinginan Dewan Pers, hakekatnya ibarat pedang penebas leher para jurnalis. Dewan pers yang dibentuk berdasarkan pasal 15 UU No 40 tahun 1999, sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembangkan kemerdekaan pers. Bukan sebaliknya, jadi badan pembungkam pers.
"Menurut saya, akibat oknum tertentu pengurusnya, Dewan Pers saat ini secara kelembagaan telah menjadi semacam entitas pembunuh berdarah dingin, entitas sakit jiwa alias psikopat. Bayangkan saja, lembaga itu menyandang nama 'pers', namun bukannya bersimpati terhadap pekerja-pekerja pers, tapi malahan menggiring mereka masuk penjara dan membusuk di sana. Rekomendasi-rekomendasi itulah sebagai pedang yang digunakan untuk menyiksa wartawan kritis dimana-mana, tanpa rasa empati sama sekali, tanpa rasa bersalah, bahkan mungkin bangga. Itu ciri-ciri psikopat," tambahnya dengan mimik penuh prihatin.
Oleh karena itu, sambung Wilson, Presiden Republik Indonesia tidak boleh terus-menerus diam dan menonton saja berjatuhannya korban-korban dari kebijakan Dewan Pers selama ini. Sebagai seorang demokrat, mengutip kalimat Presiden saat berpidato di depan Munas Partai Demokrat beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi harus turun tangan meminta pertanggungjawaban Dewan Pers atas semua pelanggaran konstitusi dan UU No 40 tahun 1999 yang telah memakan korban rakyat pers dimana-mana.
"Kita mendesak Presiden agar turun tangan, _enough is enough,_ korban kriminalisasi pers sudah banyak, yang tewas juga sudah tidak terhitung jumlahnya. Kondisi saat ini sudah darurat, kemerdekaan pers tergadai di tangan oknum pengurus Dewan Pers yang tidak profesional dan melanggar konstitusi.
Mohon Bapak Presiden Jokowi yang mulia, berkenanlah memberi perhatian yang semestinya kepada rakyatmu yang beraktivitas di dunia jurnalistik, mereka adalah kelompok pejuang yang amat penting, tanpa pangkat dan jabatan, bekerja mandiri penuh tekanan, untuk memenuhi hak publik, menyuplai informasi yang dibutuhkan masyarakat sepanjang masa," pungkas salah satu pendiri SMAN Plus Provinsi Riau dan pemilik SMK Kansai Pekanbaru itu. (TIM/Red).